Fenomena aneh
di zaman sekarang, pelaksana dakwah (dai) yang dulunya pamali untuk dibicarakan
kehidupannya atau mengungkap aibnya karena merupakan pemuka agama. Dai (ustadz
atau Kyai) adalah orang yang sangat idealis terhadap agama Islam. Tapi, lihat
para dai yang wira-wiri di media terutama televisi, layaknya selebritis semua
kehidupannya dipamerkan, tragisnya aib sang dai pun sudah menjadi konsumsi
masyarakat. “Yang penting bisa muncul di layar televisi dan dikenal masyarakat
luas. Masalah isi dakwah sudah ada skenarionya.” Mungkin pikiran para
selebritis dakwah.
Bukan hanya
itu, orientasi dakwah para dai masa kini sepertinya sudah berbelok dari tujuan
awal yaitu menyebarkan nilai-nilai Islam. Tapi sekarang lebih mengarah ke
hiburan sehingga muncul dai-dai yang bukan berceramah tetapi melawak karena
komposisi lawakannya lebih banyak daripada pesan dakwahnya. “Yang penting
jamaah senang dengan dengan penampilan dai, masalah isi sedikit saja.” Pikiran
dai populer yang mementingkan kesenangan, parahnya harus sesuai tarif.
Dua fenomena
ini menggambarkan proses dakwah Islam saat dulu di zaman Rasulullah dan
Sahabat, berbeda jauh dengan zaman sekarang yang dakwahnya sudah terpengaruh
berbagai faktor seperti merajalelanya budaya populer (budaya yang diciptakan
untuk menimbulkan kesenangan) dari asal kata populer yang memiliki empat makna
yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang
dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang
untuk dirinya sendiri (Williams, 1983: 237).
Perkembangan
teknologi dalam berdakwah, munculnya media massa untuk berdakwah, sehingga
dakwah dikemas sesuai dengan keinginan media atau sebaliknya karena permintaan
masyarakat yang mayoritas Islam menjadikan media massa harus menyesuaikan dan
menayangkan apa yang diinginkan, dan komersialitas media ikut berpengaruh.
Masalahnya, paradigma
masyarakat sekarang lebih praktis dan haus akan hiburan. Sehingga televisi
sebagai media massa elektronik yang menyiarkan secara audio visual kepada
khalayak. Fungsi televisi sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan
pembinaan kebudayaan direalisasikan dalam program-program acara seperti berita,
reality show, film, sinetron, infotainment, religi, komedi, dsb,. Menjadikan fungsi
televisi sebagai media hiburan menduduki posisi yang paling tinggi dibandingkan
dengan fungsi-fungsi yang lain.
Ini membuat media massa televisi saat ini
terjebak dalam mindstream latah yang berkembang dimasyarakat, namun
sepertinya media televisi merasa lebih aman ketika menjual mindstream
dari pada bersusah-susah melakukan uji coba terhadap acara-acara baru (Bungin,
2005: 174). Ketika satu stasiun televisi berhasil dengan program acaranya,
stasiun televisi lain pasti akan meniru dengan kemasan yang lebih menarik.
Dai Populer, Dai Selebritis dan Selebritis
Dakwah
Televisi yang
sudah terpengaruh oleh paradigma budaya populer, dan apalagi agama sudah
mempengaruhinya dalam menanyangkan tanyangan yang sesuai dengan keinginan
khalayak. Perpaduan kedua hal tersebut, menjadi sesuatu tanyangan islami yang
menyenangkan.
Lihat
program-program religi yang ada di televisi kita dalam hal dakwah ceramah,
contohnya program acara seperti kuliah Subuh
yang dimodifikasi dengan penampilan yang menarik atau kegiatan ceramah
dengan audien yang disertai tanya jawab secara langsung seperti Indosiar sukses
menayangkan Mama Dedeh dan AA dalam Solusi Keluarga sakinah, maka stasiun
televisi lainnya pun menyusul program acara yang serupa. Sebagaimana di MNC TV
dengan ustadz Cepot, Trans TV dengan Islam Itu Indah bersama Ustadz Maulana,
SCTV dengan ustadz Solmed, di ANTV bahkan kontes Da’i muda pilihan pun ikut
meramaikan program televisi yang bernuansa religi Islam.
Ustadz ataupun
Ustadzah yang muncul di layar televisi inilah yang menjadi masalah, mangapa
demikian? Karena seringnya dia masuk televisi, eksistensinya tidak kalah dengan
selebritis. Bahkan mereka diperlakukan media seperti selebritis.
Sebelumnya,
penulis akan membedakan antara dai populer, dai selebritis dan selebritis
dakwah. Pertama, Dai Populer berdasarkan pengertian dari budaya populer
adalah pelaksana dakwah yang
menyampaikan caramahnya untuk menghibur jamaahnya. Jadi kurang mementingkan
isinya.
Kedua, Dai
Selebritis adalah pelaksana dakwah yang menyampaikan ceramahnya di media massa,
selalu diekspos kehidupannya. Dengan kata lain dai seperti selebritis. Ketiga,
selebritis dakwah merupakan artis yang punya peran di dunia religi, misal dia
bukan dai tapi tiba-tiba menjadi dai karena skenario.
Tiga unsur ini
yang digunakan media untuk meramaikan pertelevisian Indonesia. Tapi yang
menjadi permasalahan terutama di kalangan kaum Islam mereka membuat citra Islam
tentang pelaksana dakwah (dai) rendah dengan adanya gosip atau isu yang
memojokan terus menerus menimpa para ustadz-ustadz yang sering terlihat dilayar
televisi.
Image dakwah
Islam sekarang sudah jarang ditemui para ustadz tua dengan sarung dan pecisnya.
Da’i yang keliling kampung, masuk gang demi gang. Akan tetapi yang muncul saat
ini ustadz yang berpenampilan gaul. Gaya bahasa yang ringan dan komunikatif.
Dakwah disampaikan lewat media televisi yang bisa menyedot jutaan penonton di
waktu yang singkat. Itu merupakan suatu kemajuan tersendiri dalam dunia dakwah.
Namun, Dai
populer bukan hanya dai yang sering muncul di televisi saja, pernah penulis
mengikuti pengajian di desa, ternyata cara penyampaian dakwahnya pun lebih
mementingkan unsur guyonan atau nyanyian agar jamaah senang. Dan jamaah memang
senang, bahkan jamaah tidak ingat materi yang disampaikan, yang diingat adalah
guyonan dan nyanyiannya.
Idealisme atau
Popularitas
Islam bukan
hanya dianggap menjadi agama yang suci sebagai pedoman kelak di akhirat. Tapi,
Islam sudah menjadi gaya hidup seseorang, bahkan tragisnya Islam juga sebagai
alat mencari kebahagiaan yang fana (baca: sementara). Dalam artian Islam
telah dijadikan nama samaran seseorang atau lembaga untuk mendapatkan materi
(Islam dikomersialkan).
Padahal, tujuan
utama dai berdakwah agar terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan akhirat yang diridhai Allah SWT. Dan idealisme dai yaitu mewujudkan
hal itu, menyebarkan nilai-nilai Islam untuk memperkuat keimanan.
Sedangkan, popularitas
merupakan sifat keduniaan berupa ketenaran, atau orientasinya pada kebahagiaan
di dunia saja. Sehingga ini yang menyebabkan munculnya sifat hedois sebagai
bentuk materialisme sesorang termasuk dalam kasus ini dai. Fenomena adanya dai
populer dan dai selebritis seolah-olah memang hanya mengejar popularitas dan
materi saja.
Idealisnya
materi dakwah yang disampaikan harus menjadi perhatian pertama oleh dai, tidak
harus materi yang berat dan tinggi, bisa mengenai muamalah, kehidupan
sehari-hari dan sebagainya. kutipan ayat Al-Qur’an atau Hadits-nya sesuai, tahu
asbabun nuzul dan wurudnya,. Misal itu hadits harus paham kualitas hadits
tersebut apakah shohih, hasan, dhoif atau bahkan hadits palsu. Oleh karena
itu ustadz-ustadz atau da’i yang sudah populer itu seharusnya harus diimbangi
pula dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Agar dalam menyampaikan dakwah Islam
yang tidak menyesatkan.
Namun, karena
masyarakat senang ketika para ustadz gaya ceramahnya santai dan ringan, aksi
panggungnya menarik, penampilannya meyakinkan. Membuat idealisme dai luntur.
Mareka hanya mementingkan luar bukan dalamnya (pesan dakwah).
Ustadz Solmed
(Sholeh Mahmoed)
Pembahasan
tentang “dai selebritis” untuk lebih memahamkan, penulis ambil contoh Ustadz
Solmed. Siapa sebenarnya dia sampai dikatakan sebagai dai selebritis yang
namanya tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Pria kelahiran
Jakarta 29 tahun silam, awalnya bukan seorang public figure bahkan bukan
siapa-siapa. Namanya mulai terkenal di kalangan masyarakat sekelilingnya
setelah mendapat gelar Juara Umum Lomba Pidato atau Ceramah tingkat Nasional
yang diselenggarakan Masjid Istiqlal Jakarta. Prestasinya itu membuat pria
bernama asli Sholeh Mahmoed ini semakin percaya diri untuk berceramah dari satu
mushola ke mushola lainnya.
Suatu ketika
dia bertemu dengan Ustad Jeffri Al Buckhori (UJE) di acara tabligh Akbar. Pertemuan
singkat itu ternyata berkelanjutan sehingga pria yang pernah menempuh
pendidikan Hukum Politik di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta ini, untuk
pertama kalinya tampil di layar televisi dalam acara religi Damai Indonesiaku
di TV ONE sebagai teman duet UJE.
Gaya
ceramahnya yang menarik, gaul serta tampang yang bisa dijual membuat banyak
stasiun televisi melirik ustadz muda ini untuk bekerjasama mengisi program
religinya seperti Assalamu’alaikum Ustadz di RCTI, Cahaya Hati di ANTV, Titipan
Qolbu di TV ONE, Teropong Iman di Trans TV serta Kata Ustadz Solmed di SCTV.
Berbagai program acara
di stasiun televisi pernah dibawakan, kehidupan pribadinya juga ikut
diberitakan dalam gossip selebritis. Sebagaimana ketika dekat dengan Syahrini,
kemudian pacaran dengan April, Pernikahannya, Perceraiannya dengan Istri
pertama, membelikan rumah dengan harga milyaran, saat umroh, menyumbangkan
sebagian hartanya kepada anak yatim dan lain sebagainya. Ini sangat bertolak
belakang dengan apa yang diceramahkan.
Kehidupan mewah ustadz
Solmed sebanarnya jauh dari konsep kesederhanaan yang mungkin pernah dia
ceramahkan. Gaya berbusananya yang menjadi ciri khasnya terihat bahwa ia
memperhatikan tren busana para ustadz.
Menanggapi gosip-gosip
seperti itu kalau yang baik pasti mau diekspos dan diwawancarai langsung, tapi
ketika gosip itu buruk, sang Ustadz pun akan berhati-hati menjawab serbuan
pertanyaan dari wartawan, contoh kutipan perkataan ustadz Solmed “Kalau ada
seribu cacian, saya sudah menyiapkan dua ribu maaf.”
Sekalipun ada
pemberitaan miring tentang Ustadz Solmed, pesonanya cukup membuat antusias
masyarakat ketika ia hadir dalam suatu majlis taklim. Masyarakat
berbondong-bondong datang, seolah-olah
mereka hanya memandang ketokohan da’i itu saja. Padahal dalam Islam
diajarkan bahwa dalam menimba ilmu kita jangan lihat siapa yang menyampaikan
tetapi apa yang disampaikan. Pemandangan yang tidak asing lagi diakhir acara
pasti ada waktu buat foto bersama, memang seperti artis.
Materi dakwah yang
disampaikan oleh Ustadz Solmed ringan dan sederhana, tentang kehidupan
sehari-hari. Ya layaknya ustadz-ustadz yang lain. tapi dari segi penampilan dan
aksi panggung dia memang memiliki ciri khas sendiri dengan gaya “All you ready”
ketika akan memulai ceramahnya.
Yang jelas ketika
dihadapan media semua ustadz-ustadz selebritis itu tetap menjaga sikapnya. Baik
ini pura-pura atau memang dari dalam hati yang terdalam ikhlas berjuang di
jalan Allah melalui ceramah. Masalah itu adalah rahasia pribadi dan Tuhan.
Dai Juga Manusia Biasa
Melihat kejadian ini,
ustadz yang menjadi selebritis memang sudah mempunyai tempat di hati masyarakat.
Seperti bukan manusia biasa lagi. mengingat Rasulullah saja manusia biasa,
apalagi seorang dai di zaman sekarang. Dan wajar sebagai orang biasa, seseorang
mempunyai keinginan untuk menjadi terkenal dan punya materi yang banyak. Akan
tetapi harus bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seperti Rasulullah,
ketika jadi khalifah, ya memimpin umatnya. Ketika jadi panglima perang, ya
memimpin perang, ketika jadi kepala rumah tangga, ya mengurusi dan membimbing
keluarganya.
Memang dengan menjadi
terkenal, seorang dai dalam menyampaikan dakwah akan lebih mempunyai banyak
jamaah. Dalam konteks dakwah lintas budaya, seorang dai selebritis penulis kira
sangat umum, karena mereka menggunakan bahasa gaul, permasalahan-permasalahan
modern yang belum tentu menjangkau seua elemen. Sedangkan di setiap daerah
terkadang tidak biasa dengan ceramah yang seperti itu. Jadi dai selebritis
hanya sebagai penghibur.
Adanya dai populer, dai
selebriti dan selebritis dakwah memerlukan pemantauan dan pengontrolan juga
dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) DAN JUGA MUI untuk kegiatan dakwah di
televisi sehingga tidak menyalahi syariah dan sesuai dengan etika dakwah.
Menjaga idealisme
memang sulit, untuk menghindari citra buruk terhadap agama Islam. Mengambil
jalan aman saja, ketika memang ingin terjun ke dunia selebritis mending jangan
memakai nama dai. Namun, tetap menyebarkan nilai-nilai kebaikkan harus tetap
dijaga. Sehingga antara Agama bukan sebagai alat untuk mencari pekerjaan,
materi atau popularitas.
Komentar
Posting Komentar