Sore ini,
Senin (15/7/2013) aku bersiap-siap dengan menggendong tas punggung abu-abuku,
melangkahkan kaki keluar dari Kos Ceria, kos terbaik se-Ngaliyan (hhaha, Labay
dikit biar kalau ibu kos baca, uang kos nggak jadi dinaikin). Agendaku adalah
pulang kampung. Tapi sebelum pulang kusempatkan dulu singgah di markas
tercinta, LPM MISSI. Kebetulan hari ini adalah agenda rapat redaksi (seminggu
sekali dan setia Senin).
Matahari masih
enggan mencondongkan diri ke barat. Teriak cahayanya masih sangat terasa
menyengat di kulit walaupun rambutku tak
merasakan karena hijab menutupi kepalaku. Cahayanya tidak hanya menyengat
kulit, mata pun tak bisa lepas dari silaunya, dan membuat aku mengecilkan pupil
mataku untuk mengurangi cahaya yang masuk saat berjalan.
Untung ada angin
yang tidak takut dengan teriknya matahari. Dia masih saja bermain-main dengan
dedaunan rumput ataupun pohon. Rok dan hijabku pun jadi sasaran permainannya. Perjuangan
langkah kakiku akhirnya sampai di markas LPM MISSI. Rapat masih dimualai dua
jam lagi. Sembari menunggu, kubuka sahabat kecilku dan mulai kufokuskan mata menatap
wajahnya serta tanganku mulai menggelitikinya.
Jarum pendek
jam tepat di angka 2 dan jarum panjang di angka 12. Tapi di LPM MISSI baru ada
lima orang. Menunggu yang lain itu yang kita lakukan sambil menonton film OZ
The Great bersama di computer MISSI, hhaha. Detik berubah jadi menit dan itu
selalu berulang, orang juga tak bertambah-tambah. Ya terpaksa rapat dimulai
dengan orang-orang itu saja. Pembahasan yang tidak cukup menarik, dan itu
selalu yang terjadi di setiap rapat redaksi adalah terlambat mengumpulkan
tulisan. Sudah beberapa kali kita ganti deatline.
Sudahlah. Terlalu
panjang ini prolog ya. Aku lanjutkan dengan kepulanganku ke kampung halaman
yang sudah sejak dua minggu kemarin tidak kuinjakkan kaki ini.
Aku bersama
temanku, Kiki, menunggu bis di tempat bias. Di pinggir jalan di depan kampusku.
Nasibnya lebih beruntung dariku hari ini. dia dapat tebengan pulang. Sedangkan aku
masih menunggu Om-Om ganteng yang bawa bis. Aku tak sendiri untungan, ada
seorang wanita yang aku bingung harus memanggilnya Bu atau Mbak. Wajahnya masih
muda, tapi penampilannya kaya ibu-ibu. Akhirnya aku panggil Bu dan kemudian berubah
jadi Mbak. Hhaha (Mungkin dia juga bakal tertawa dengan panggilanku yang tak
konsisten atau bahkan marah)
Tik, tok,
tik, tok…. Detik sudah berubah jadi
menit-menit tapi belum sampai jadi jam, bis yang kutunggu datang. Mbak Bu yang
tadi bersamaku mengajakku naik ke bis yang dari kejauhan tampak namanya “Tiara
Sahabat”. Aku masuk dari pintu belakang. Alhamdulillah masih ada kursi yang
bisa kududuki. Beberapa detik belum sempat aku menghembuskan nafas ketigaku. Dia
datang, iya. Sang kondektur. Berperawakan besar, tinggi, dan dengan perut
buncitnya. Di lehernya juga terlihat kalung rantai mirip punya Si Putih,
kucingku.
Sampailah dia
dihadapanku.
“Kemana Mbak?”
Tanyanya kaku tanpa menggerakkan bibirnya simetris.
“Banyuputih
Pak,” kujawab seadanya.
“20 ribu”
katanya singkat, dan membuat aku berpikir di dalam dompetku. Gila nih orang. Tarifnya
sama kaya ku naik bis AC kemarin aja.
“Biasanya kan 15 ribu Pak” aku mencoba menegonya.
Tanpa mengucap
apapun, dia masih menodongkan tangannya dengan wajah datar tapi penuh kerutan.
“Bentar Pak.”
Aku mencari dompet lain, karena di dompet kuningku hanya ada 12 ribu rupiah. Untungan
masih ada dua lembar 5 ribu di dompetku.
Beda dengan
aku dan penumpang lain yang dengan sadar tetap memberikan uang yang diaminta
walaupun terkesan terlalu banyak dan dengan pemaksaan. Wanita yang tadi
bersamaku menolak memberikan uang lebih. Dia pun turun dengan terhormat
menurutnya.
SubhanaAllah,
aku hanya menaikkan bibirku simetris ke kanan dan kiri. Sedikit doa untuknya
semoga dia dapat bis yang lebih baik dan sampai tempat tujuan dengan selamat. Amien.
Kalau tidak karena sudah sore, aku pun mungkin akan melakukan hal itu.
Bukan hatiku
saja yang dibuatnya menghitam. Bapak-bapak yang duduk di sampingku pun
mengeluh. Apalagi setelah melihat dia dengan sengaja mengambil sebotol aqua dan
meminumnya di depan para penumpangnya. Ini menguatkan tuduhan bapak yang duduk
di sampingku kalau uang yang dia minta tidak sepenuhnya dibayarkan untuk
setoran bisnya. Menurutnya sekitar 5-10 ribu dia kantongin sendiri.
Astagfirullah,
apapun akan manusia lakukan demi memenuhi kebutuhannya. Walaupun harus
merugikan orang lain. Semoga kita tidak termasuk ke dalam orang-orang yang
seperti itu. Amien
Komentar
Posting Komentar