Langsung ke konten utama

AIR MATA LANGIT, JATUH (?)

Oleh: Tien Afecto Galuh
Gerimis tak kunjung reda, bintik-bintik air terus berjatuhan dariku. Bebannya semakin ringan, keluhanku terlampiaskan. Marahku bisa dirasakan semua makhluk, manis walaupun pedas yang diterima. Begitu juga sahabat-sahabatku, dingin tapi hangat yang dirasakan.
 Esok hari aku bisa terbang ringan, menghampiri sahabat-sahabatku di pinggiran pemangang hitam panas dan panjang yang tak berujung. Kubawakan keteduhan jiwa untuk menjaga senyum mereka.
Malam ini tubuhku berhenti mengeluarkan air yang membuat orang bahagia, tapi masih ada orang yang sedih gara-gara aku menangis. Tapi aku tak perduli dengan ucapan mereka tentang aku yang penting aku bahagia bisa memberi kebahagiaan pada sahabatku yang jarang merasakan dinginnya air segar.
Aku tak peduli dengan orang yang hidup nyaman tapi selalu mengeluh. Saat aku menangis melihat sahabat-sahabatku kedinginan, ada saja yang mereka katakan, “Ini hujan kapan berhentinya, kerjaanku terbengkalai.”
Ada juga orang yang bersedih, “Aku benci hujan, setiap hujan rumahku selalu terkena luapan air sungai.” Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menyalahkan. Aku tak bisa terima dengan sikap itu, dalam hatiku ‘Apa Kalian pernah merasakan perasaanku saat semua umpatan yang diucapkan itu keluar dari bibir yang hanya menuruti hawa nafsu kalian?.’
Aku pernah menyalahkan sampah sebelum aku tahu kebusukan mereka, mengapa ia menghalangi air yang ingin lewat. Sampah tak mau disalahkan, karena mereka tak merasa bersalah. “Aku di sini terjebak, bukan kemauanku sendiri. Tanya saja dengan manusia-manusia manis di sana,” elak segunungan sampah di pinggir sungai.
Aku tak mau menjadi tersangka utama penderitaan mereka. kulihat yang mereka kerjakan tiap hari sampai ini yang terjadi, hanya mencari kesenangan untuk memuaskan hatinya. Yang dibuang sembarangan bukan hanya sampah tapi juga anak. Ini yang kusaksikan dengan mata kepalaku saat seorang pria membuang anaknya di kolong jembatan.
Kalau bukan karena Tuhan yang menjadikan aku awan, aku ingin menjadi manusia untuk anak-anak itu. Bermain bersama sahabat jalanku jauh lebih menyenangkaan. Anak-anak yang selalu menyambut kedatanganku dengan senyum.
***
Langit, sahabat baikku, yang tidak bisa merasakan kehangatan dekapan orang tuanya. Sejak bayi dibuang orang yang tidak mau bertanggung jawab. Sempat dipungut panti asuhan tapi kabur karena merasa kesal tidak ada yang mau mengadopsinya seperti teman-teman seusianya. Keputusan yang membuat ia harus tinggal di rumah kardus dan menikmati kehidupan anak jalanan.
 Ketegaran menghadapi hidup dengan kekurangan tak menjadi halangan untuk tetap bahagia menikmati hidup. Terlantar, hidup tanpa kasih sayang orang tua seperti anak kucing yang ditinggal induknya. ia tetap bertahan hidup, menghabiskan sepanjang hidupnya untuk berbagi kebahagiaan.
Penampilan lusuh, celana pendek yang dipakai dengan penuh tambalan kain menutupi robekan celananya. Kaos oblong kumel yang tidak jelas warnanya lagi, tertutup debu dan kotor. Hanya itu yang bisa menutupi tubuh mungilnya, baju satu-satunya yang jarang dicuci. Hanya ketika aku datang, ia baru mencucinya. Karena tak ada air bersih yang bisa mereka gunakan.
Air sungai terlihat seperti cincau cair, hijau berlendir. Hanya itu yang bisa dipakai. Tak banyak air bersih yang ia dapatkan, itu hanya cukup untuk membasahi tenggorokannya karena seharian menerjang sinar matahari yang sangat terik.
Tangisanku bukan hanya membuatnya bahagia, tapi bermanfaat. Teriris hatiku melihat itu, hanya bertapih selembar kain. Itulah yang bertahun-tahun mereka jalani dengan hati lapang dan selalu bersyukur pada pencipta.
Sebenarnya ingin sekali aku berbagi kehangatan bersama tapi aku hanya bisa berada di atas mereka. Andai aku punya tangan dan kaki layaknya manusia pasti aku akan memeluk dengan hangat. Atau aku bisa seperti pesawat, mereka akan kuajak berkeliling dunia melihat alam yang begitu indah. Tapi itu hanya mimpi dan yang bisa kulakukkan adalah mengawasi mereka dan melindungi mereka dari kejahatan yang akan menyerang mereka. 
***
Fajar baru saja muncul tapi semangat Langit mendahului fajar. Usia muda tak terlihat dari semangat yang menggebu-gebu. Ia awali hari ini dengan angkat-angkat keranjang buah di pasar.
Teman-teman sebayanya masih tertidur di kasur empuk dan berselimut kain wol. Tapi ia sudah harus mencari rupiah, demi secerca energi untuk menopang tubuhnya di pagi ini.
Selembar uang bergambar Imam Bonjol yang menjadi harapan Langit untuk bertahan hidup pagi ini dan satu buah nanas yang ia temukan.
“Din..., Kak Langit bawa nanas, ayo bangun!”, memperlihatkan nanas kecil ditangannya.
“Dian mau Kak, ayo dikupas!, Lapar.” Rengek Dian
“Cuci muka dulu sana! Kakak ambil pisau dulu untuk mengupasnya.”
Rasa yang tak terlalu manis, tapi tetap berasa manis karena potong demi potong nanas itu dimakan dengan penuh syukur dan senyum.
Keadaan yang memaksa Langit harus seperti ini, bahkan ia tak bisa merasakan aroma sekolah seperti teman-teman seumurannya. Tapi beginilah hidupnya, rumah kardus, kolong jembatan, jalanan, panas, lapar adalah dirinya.
Keinginan terbesarnya adalah bisa membahagiakan adiknya, panggil saja Dian, sebuah nama yang berharap bisa selalu meneranginya untuk gadis kecil yang ia temukan 3 tahun silam di dalam kotak dekat tumpukan sampah. Walaupun ia tak pintar tapi Dian harus pintar. Kebahagiaan Dian adalah semangatnya.
***
Hari ini kuikuti langit menelusuri padang pasir jantung kota metropolitan, melihat ia tanpa sehelai alas kaki dikeduanya. Setapak demi setapak ia injakkan kaki mungilnya, kemilau hitam kakinya terpancar, kulit kakinya yang keras melindunginya  dari panasnya aspal.
Dian tetap di rumah kardus bersama boneka berwarna pink yang sudah ada saat aku menemukannya.
Ia ingat, adiknya minta dibelikan pensil warna. Tapi uang hasil menjual suaranya dari bis ke bis hanya cukup untuk makan. Dari pinggir jalan terlihat kilauan yang menarik matanya.
Itu koin tepat di tengah jalan, senang gembira yang ia rasakan. Girangnya melebihi pegawai yang mendapat bonus dari bosnya, rakyat yang mendapat dana tunjangan dari pemerintah. Saat itu koin yang nominalnya sama dengan selembar kertas bergambar monyet adalah emas baginya.
“Wah! Koin....” suara dalam hatinya.
Aku jadi saksi saat itu, dengan langkah pasti Langit menghampiri koin itu. Aku hanya dapat melihatnya dari atas kepalanya. Tiba-tiba, “Prakkk..., prakkk..., prakkk.” Tanganku tak bisa menggapainya. Kejadiaan itu terjadi sangat cepat, seperti angin lewat, tak dapat kurekam. Mobil itu memeluk Langit dari belakang dan menghempaskannya ke pinggiran jalan.
Air mataku tak bisa kubendung, aku merasa bersalah tak bisa menjaga Langit. Tiba-tiba terdengar suara berbisik ke telingaku, “Jangan sedih Sobat, Aku baik-baik saja.” Wajah Langit menjejeriku. “Langit...?” air mataku terhenti.
“Iya..., ini Aku, Langit!”, dengan wajah berseri dan tak kucel seperti biasanya, “Terimakasih Awan, Kau telah menjagaku tiap hari, Aku tak bisa membalas budimu.” Aku dan dia berbincang-bincang layaknya sahabat yang sudah lama tak bertemu.
Kejadian itu membuat aku senang, karena Langit bisa menemuiku. Tapi Langit tak lama bersamaku, ia harus mengikuti perjalanan panjang karena mobil itu.
Langit tiba-tiba terbangun di atas kasur yang empuk dan berselimut kain wol yang menghangatkan tubuhnya. Dia Kaget tak berada di atas kardus-kardusnya, tempat merebahkan tubuh seperti biasanya. Berada di kamar yang luas, nyaman, wangi, dan dari jendela terlihat pemandangan hijau tepas.
“Aku ada dimana?” menoleh kanan-kiri yang terasa aneh baginya dengan wajah putih susunya. “Apa ini Surga, seperti yang dikatakan orang-orang besar?.”
Tak lama dia membuka matanya, dari balik pintu datang wanita cantik berjilbab dengan baju putih-putih. Saat itu ia semakin yakin kalau ini di Surga karena ada bidadari. Wanita itu semakin mendekat kepadanya, dengan senyum tipis. Terlihat dari kejauhan sangat anggun. Auranya kuat sekali sebagai seorang wanita.
“Bidadari?” panggilnya dari jarak yang makin mendekati dirinya.
“Ini Ibu Nak!” tutur wanita itu halus
“Ibu...?” ia semakin bingung, berpikir kembali kapan ia punya seorang ibu yang sangat cantik seperti wanita itu. Tak bermaksud jadi Malin Kundang yang tak mengakui ibunya, hatinya tak percaya kalau wanita itu adalah ibunya.
“Aku tak punya ibu sebelumnya, Kau pasti bohong padaku?” keluar dari selimutnya dan mencoba menjauh darinya. Ia mendekat ke jendela, wanita itu tetap menyakinkannya kalau ia adalah anaknya. Langit semakin takut dengan wanita itu dan ingin keluar, menjauh darinya. Sampai di ujung jendela, “Nak..., ini Ibumu, peluk Ibu”, mengulurkan kedua tangannya dan mendekati terus.
Langit terpojok, yang di pikiranya adalah pulang dan Dian. Akhirnya ia menjatuhkan dirinya dari jendela kamar lantai 3. Tapi dia tak mati, perjalanannya berlanjut. Ini benar-benar seperti lorong waktu.
Aku hanya memandangi Langit yang terbaring lemas dengan hembusan nafas pelan. Dian terus menangis, tak tahu sejak kapan ia berada di samping Langit, mengusapi kucuran darah di wajahnya dengan sehelai kain kusam.
Lagi-lagi Langit terbangun di tempat yang berbeda, terlihat dinding bambu di sekelilingnya. “Dimana Aku?” tanya pada dirinya. Kejadian itu terulang, dari balik pintu muncul sosok orang, tapi itu bukan wanita cantik melainkan lelaki gagah dengan pakaian kusam dan kumel.
“Siapa Kau?”, bergerak memojokkan dirinya di kepala kasur. Tapi laki-laki ini tak sama dengan wanita yang kutemui sebelumnya.
”Aku orang yang telah membuangmu, kenapa Kau masih di sini?”, pandangan tajam dengan suara agak tinggi.
Langit tak bisa mengucapkan sepatah katapun, dia takut melihat sosok lelaki yang ada di depan mukanya sekarang. “Aku berharap segera keluar dari gubuk bambu ini”, jerit dalam hatinya.
 Tiba-tiba semuanya gelap tak ada kejadian yang bisa ia ingat. Hanya dingin air mataku dan Dian yang bisa dia rasakan. Perlahan-lahan kulihat Langit mulai membuka matanya bersama langit yang mulai cerah.
“Kak Langit..., Kak Langit....” Dian menggerakkan tubuhnya yang mulai membuka mata. 
“Di..., Di..., Di..., An....” ucapnya terpatah-patah tapi jelas.
“Iya Kak..., ini Aku, Dian....” Walaupun air mata masih menetes tapi pancaran kebahagian seorang adik bisa aku lihat dari wajah Dian. Aku bahagia bersama tangisan mereka.
***
Kecelakaan satu minggu lalu tak menghalangi Langit untuk tetap semangat mencari kebahagiaan. Hari-hari yang lalu ia lalui dengan bantuan sahabat-sahabat jalanannya yang punya solidaritas tinggi seperti keluarga sendiri.
Tak seperti biasanya ia mengamen sendiri, Dian ikut bersamanya. Luka yang belum terlalu kering di kepalanya, ia tutupi dengan topi coklat penuh tambalan kain. Berjalan menuju halte bis dengan tangan Dian yang selalu memegangnya.
Matahari berada di atas kepala tepat, perut mulai lapar. Mereka berhenti dengan hasil rupiah tak seberapa. Di pinggir jalan dekat jembatan Dian melihat sesuatu.
“Kak..., Dian pingin itu.” Menunjuk ke kotak bergambar kue-kue yang ada di pingir jembatan.
“Apa Dek?”, tanyanya karena tak paham dengan yang dimaksud Dian.
“Coklat itu Kak!”, gambar yang menggoda, kue coklat lezat dengan strowberry di tengahnya. Siapapun pasti suka.
Aku melihat Langit hanya tersenyum walaupun hatinya teriris, makan saja sulit mana mungkin punya uang untuk beli kue coklak. Dian hanya anak kecil yang belum tahu kondisi mereka, ia hanya ingin itu dan ada. Menjelaskan seperti apapun sulit diterima.
“Iya Dek, nanti  ya....” Mengalihkan keinginannya dengan mengajaknya ke taman melihat air mancur. Dian bisa melupakan kue itu tapi hanya sebentar. Sepulang dari taman ia menagih janjinya kembali. Sampai 3 hari Langit bisa mengalihkan keinginan Dian. Tapi akibat sikapnya, Dian sakit panas. Ini juga mungkin karena kemarin terkena air mataku melihat Langit menangis.
Langit tak punya uang, ia bingung mau minta dengan siapa. Kemudian ia teringat kalau ia masih punya sepasang sepatu cat yang diterimanya dari seorang polwan. Saat dulu ia melihat Langit kecil menangis di pinggiran jalan karena ingin sekali memiliki sepatu cat. Kemudian ia memberikan sepatu cat anaknya. Dan sampai sekarang Langit tetap menyimpannya.
Terpaksa ia harus menjual sepatunya, itu pun kalau masih laku. Meminta bantuan sahabatnya untuk menjaga Dian saat ia menjual sepatunya. Dengan langkah pasti ia pergi.
Semuanya nihil tak ada toko yang mau membeli sepatunya. Sempat putus asa tapi aku tetap menyemangatinya, melindungi Langit dari panasnya sinar matahari. Ia mulai menawarkan sepatunya ke semua orang tak pandang siapa dia karena yang ia inginkan adalah uang seberapa pun itu.
Sampai akhirnya bertemu dengan ibu-ibu yang menggendong anaknya.
“Permisi Bu..., boleh minta tolong tidak?.”
“Apa Nak?” menanggapi Langit dengan santun.
“Gini Bu, adikku sakit, butuh obat tapi Aku tak punya uang.” Mulai mengambil sepatu di plastik hitam yang dibawa, “Ini ada sepatu, berapapun Ibu mau ngasih uang, akan kuterima, yang penting adikku sembuh Ibu.”
Awalnya ibu itu menolak karena merasa tak butuh sepatu itu, tapi anak yang tidur digendongan bangun dan melihat sepatu itu. Ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sepatu yang Langit pegang. “Bu..., Aku mau itu”, menunjuk ke sepatu Langit.
“Iya Sayang....” Menurunkan anak itu dari gendongannya.
Aku senang melihat perbincangan mereka. Langitpun demikian hatinya senang, akhirnya ia bisa membelikan kue coklat  yang diminta Dian walaupun bentuknya kecil. Uang yang didapat lebih dari bayangannya yang hanya untuk membeli obat.
Setelah memilih kue coklatnya di toko dekat apotik yang tak jauh dari tempat ia menerima uang hasil sepatunya. “Ini mbak, berapa harganya?” menunjukkan kue coklat yang ada digenggamannya.
“Dua puluh ribu....” jawab penjaga toko yang terlihat masih muda.
Langit bersyukur uangnya cukup karena tadi masih ada sisa tiga puluh ribu di kantong celananya. Tangannya menggerogoh tapi hatinya mulai panik, uang yang ia taruh di kantong kanan celananya tak ada, tangan kirinya juga mulai menggerogoh kantong satunya tapi sama saja tak ada. Yang ia temui adalah kantong celananya bolong.
Terpaksa keluar dari toko dengan tangan kosong. Ia tak mau meminta-minta. Yang harus dilakukannya adalah merawat Dian,memberi kebahagiaan dengan jiwanya bukan materi.
***
Sampai rumah Dian kelihatan sudah agak mendingan. Perasaannya senang, obat yang ia bawa tak langsung diberikan. Kemudian ia mengajak Dian jalan-jalan ke jembatan yang dulu. Ia menggendong Dian dengan penuh rasa sayang.
Langit duduk di atas jembatan yang biasanya dilalui orang-orang menuju tempat kerjanya, bersama Dian. Mereka memandangi kendaraan yang berada searah vertikal di bawah mereka, tersenyum ringan dan membayangkan mimpi-mimpinya menjadi nyata, makan kue coklat bersama Dian.
Dan aku pun berada bersama mereka. Langit tak pernah menangis, apapun yang terjadi ia jalani dengan senyum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAMIL DI LUAR NIKAH USIA REMAJA

       I.             PENDAHULUAN Cepatnya arus informasi dan semakin majunya tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tapi di sisi lain juga berdampak negatif. Dampak posifitnya, munculnya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti pergaualan bebas dan pornografi. Masuknya pengaruh budaya asing mengakibatkan adanya pergaulan bebas dan seks bebas yang kemudian mengakibatkan terjadinya fenomena hamil di luar nikah. Remaja merupakan generasi penerus yang akan membangun bangsa ke arah yang lebih baik, yang mempunyai pemikiran jauh ke depan dan kegiatannya yang dapat menguntungkan diri sendiri,keluarga,dan lingkungan sekitar. Namun, remaja sekarang ini banyak yang terjerumus ke dalam pergaulan

Sepenggal Kisah Tentang Waktu

Video singkat yang menceritakan seorang gadis yang malas-malasan. Kehidupannya hanya diisi dengan kegiatan yang kurang bermanfaat. Dia pun hampir setiap saat meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu sholat. Dia tidak pernah tidur ketika malam, bukan berarti untuk berdzikir dan bermujahadah pada Allah, tapi malah bermain game, dan melakukakan kegiatan yang sama sekali tidak bermanfaat. Lucunya ketika adzan subuh berkumandang, bak lagu merdu yang menina bobokan dirinya untuk tidur. Al hasil, dia tidak sholat subuh dan parahnya sepanjang paginya dia tidur sampai siang hari. Suatu ketika, di depan rumahnya dia melihat iring-iringan yang tak biasa. Bukan karnaval atau marching band, tapi keranda mayat yang berodakan manusia yang membawa jenazah. Hal ini membuat dia termenung sejenak memikirkan kalau hidup ini akan berakhir. Semua wejangan yang dulu pernah diberikan orang tuanya. Ia sadar kalau selama ini waktunya terbuang sia-sia, padahal Rasulullah SAW mengin