Idealnya kurikulum
dibuat sebagai acuan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan, yang memuat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran. Hal itulah yang menjadi tugas Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan agar pendidikan bisa mencapai tujuannya, seperti dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Namun, kurikulum selama
ini belum bisa menjadi pedoman kesatuan dalam menjalankan penyelenggaraan
pendidikan.
Terhitung setelah
adanya reformasi terjadi dua kali pergantian kurikulum yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
tahun 2004 dan Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2007. Secara
konsep tertulis keduanya ingin mewujudkan tujuan pendidikan nasional, KBK yang
menuntut murid untuk aktif dalam kegiatan belajar. Sedangkan KTSP yang
menyesuaikan kurikulum sesuai dengan daerahnya (kearifan lokal).
Namun, dalam prateknya kurangnya
pemahaman terhadap konsep kurikulum tersebut dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
menjalankannya. Penulis menggaris bawahi hal itu terjadi karena terlalu
tergesah-gesah dalam menerapkannya, sosialisasi yang belum menyeluruh dan
persiapan yang kurang matang. Itulah yang menjadikan konsep yang baik, namun
prakteknya belum maksimal.
Rencana Kurikulum 2013
sebagai pengganti KTSP sangat baik dengan konsep baru sebagai kurikulum
berbasis kebutuhan, yang bisa diibarat seperti tangga untuk membentuk bangsa
Indonesia, yaitu pembentukan karakter di usia dini pada tingkat SD, mengasah
ketrampilan di usia remaja pada tingkat SMP, dan menguasai pengetahuan saat
SMA. Pendidikan dan solusi terhadap masalah-masalah masih banyak kekurangan.
Misalnya masih Karena yang sedang dibutuhkan bangsa ini adalah bisa menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki ketrampilan dan keahlian serta
memiliki karakter bangsa Indonesia yang kuat.
Pendidikan karakter ini
yang menjadi tujuan utama agar menjadi bangsa berkarakter, bukan hanya pintar
dan trampil. Apalagi melihat kenyataan bangsa ini yang kehilangan karakter
dirinya sendiri.
Oleh karena itu siswa
tingkat SD difokuskan untuk membentuk jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Didukung usia 7-12 tahun, secara psikologis merupakan tahap untuk membangun
karakter diri.
Hemat penulis,
kurikulum memang sudah waktunya diganti menyesuaikan perkembangan zaman dan
kebutuhan bangsa ini. Bukan ganti Menteri, ganti kurikulum. Namun ganti zaman,
ganti kurikulum. Itu baru ideal.
Komentar
Posting Komentar