“Dengan menguasai bahasa kita bisa menguasai dunia,” pesan sederhana dari Soekarno ini mempunyai makna mendalam tentang bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Akan tetapi tidak sedikit yang menyempitkan makna pernyataan tersebut. Ini adalah salah satu penyakit yang menjangkit mahasiswa di Indonesia.
Mahasiswa mempelajari beberapa bahasa dunia yang mereka anggap dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Kesadaran mereka patut diberi apresiasi tinggi karena tidak egois dengan mau belajar bahasa orang lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa sikap toleransi yang terbentuk pada mahasiswa besar. Apalagi dengan adanya globalisasi yang semakin mempermudah akses untuk berhubungan internasional, ini menambah semangat mahasiswa untuk belajar bahasa internasional terutama Inggris.
Berbagai tempat kursus bahasa asing sekarang terbentuk dan selalu ramai peminat. Demikian juga di kampus pendalaman bahasa sangat ditekankan demi menunjang kemampuan mahasiswa. Yang terjadi, bukan hanya mahasiswa dengan jurusan bahasa saja yang mempelajari bahasa, bahkan mata kuliah bahasa tidak pernah terlewatkan dan jadi kewajiban. Bahasa Inggris adalah nominator tertinggi yang mangalahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita, nyarisnya bahasa Ibu (bahasa daerah) sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan akademis Indonesia, terkeculai mahasiswa yang memang jurusannya itu.
Sikap itu sangat disayangkan karena bahasa ibulah yang pertama kali kita gunakan dan ketahui dalam memori otak kita, akan tetapi dilupakan dan dihilangkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang, karena menganggap bahasa Ibu itu kuno, kampungan dan tak modern lagi untuk dipelajari.
Keistimewaan Bahasa
Padahal bahasa merupakan asset bangsa yang kelestariannya menjadi tanggung-jawab semua pihak sesuai dengan perannya masing-masing. Keragaman unsur bahasa yang tetap lestari akan mempengaruhi eksistensi masyarakat yang hidup didalamnya (baca: kebudayaan). Karena bahasalah yang menghiasi seluruh aktivitas kebudayaan sebagai penopang tradisi lisan yang dapat mentranformasikan kesejarahan, pengetahuan dan peradaban secara turun temurun.
Nah, di sini bahasa Ibu sangat berperan sebagai alat yang paling kuat untuk mempertahankan dan mengembangkan warisan kita, baik berwujud dan tidak berwujud. Semua bergerak untuk mempromosikan penyebaran bahasa Ibu, yang tidak hanya untuk mendorong keanekaragaman linguistik dan pendidikan multibahasa tetapi juga untuk mengembangkan kesadaran yang lebih lengkap mengenai tradisi bahasa dan budaya di seluruh dunia dan menginspirasi solidaritas berdasarkan pemahaman, toleransi dan dialog.
Kegunaan bahasa yang sangat istimewa ini membuat UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai peringatan bahasa Ibu Internasional, agar bahsa Ibu tidak musnah karena melihat keprihatinan terhadap ancaman musnahnya beberapa bahasa ibu (mother tounge) di seluruh belahan bumi. UNESCO, Sebuah badan milik PBB yang bertugas di bidang pendidikan dan kebudayaan memiliki prediksi “kematian” terhadap beberapa bahasa ibu dalam seratus tahun ke depan terutama di belahan benua Afrika dan Asia. Bahasa Ibu yang menjadi bahasa mula-mula sebelum berkenalan dengan bahasa kedua (second language) tertatih-tatih menghadapi gempuran arus dunia atau globalisasi.
Terbukti hampir setiap tahun ada bahasa yang hilang karena dari 748 bahasa ibu keseluruhan, turun manjadi 726 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang lagi. Jumlah itu terdiri dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), 2 bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya itu. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.
Tentunya sebagai mahasiswa sudah sepatutnya ikut berperan melestarikan bahasa Ibu yang sudah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penuh keragaman dan keunikan.
Hilangkan rasa malu
Masalah yang sering terjadi adalah rasa malu mengakui bahasanya sendiri, mahasiswa sekarang lebih merasa bangga jika mahir berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Karena akan menjadi bahan tertawaan dan cemohan teman-temannya dengan logat bahasa daerah yang terdengar aneh setiap daerah. Padahal kalau kita pelajari lebih mendalam bahasa daerah sangatlah menarik dan inilah yang menjadikan keunikan serta ciri khas tersendiri.
Berbahasa daerah juga bisa mencerminkan bagaimana karakter orang dan bagaimana kita berkomunikasi, contohnya bahasa jawa, ketika kita akan berkomunikasi dengan orang tua, itu akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan saat berbicara dengan teman. Itu menunjukkan bahwa ada tingkatan kesopan dalam bertingkah laku. Selain untuk melestarikan juga untuk membudayakan agar tidak sirna begitu saja apalagi sampai dicuri orang lain.
Kegiatan yang dilakukan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Universitas Negeri Semarang saat memperingati hari Bahasa ibu kemarin menunjukkan bahwa kita harus tetap melestarikan bahasa ibu sebagai warisan budaya untuk generasi penerus kita. Dan menunjukkan bahwa kita tidak perlu malu, bahkan seharusnya banggaa bisa menjadi bangsa Indonesia yang kaya akan bahasa dan kebudayaan. (Dari berbagai sumber)
Mahasiswa mempelajari beberapa bahasa dunia yang mereka anggap dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Kesadaran mereka patut diberi apresiasi tinggi karena tidak egois dengan mau belajar bahasa orang lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa sikap toleransi yang terbentuk pada mahasiswa besar. Apalagi dengan adanya globalisasi yang semakin mempermudah akses untuk berhubungan internasional, ini menambah semangat mahasiswa untuk belajar bahasa internasional terutama Inggris.
Berbagai tempat kursus bahasa asing sekarang terbentuk dan selalu ramai peminat. Demikian juga di kampus pendalaman bahasa sangat ditekankan demi menunjang kemampuan mahasiswa. Yang terjadi, bukan hanya mahasiswa dengan jurusan bahasa saja yang mempelajari bahasa, bahkan mata kuliah bahasa tidak pernah terlewatkan dan jadi kewajiban. Bahasa Inggris adalah nominator tertinggi yang mangalahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita, nyarisnya bahasa Ibu (bahasa daerah) sudah mulai ditinggalkan oleh kebanyakan akademis Indonesia, terkeculai mahasiswa yang memang jurusannya itu.
Sikap itu sangat disayangkan karena bahasa ibulah yang pertama kali kita gunakan dan ketahui dalam memori otak kita, akan tetapi dilupakan dan dihilangkan begitu saja. Habis manis sepah dibuang, karena menganggap bahasa Ibu itu kuno, kampungan dan tak modern lagi untuk dipelajari.
Keistimewaan Bahasa
Padahal bahasa merupakan asset bangsa yang kelestariannya menjadi tanggung-jawab semua pihak sesuai dengan perannya masing-masing. Keragaman unsur bahasa yang tetap lestari akan mempengaruhi eksistensi masyarakat yang hidup didalamnya (baca: kebudayaan). Karena bahasalah yang menghiasi seluruh aktivitas kebudayaan sebagai penopang tradisi lisan yang dapat mentranformasikan kesejarahan, pengetahuan dan peradaban secara turun temurun.
Nah, di sini bahasa Ibu sangat berperan sebagai alat yang paling kuat untuk mempertahankan dan mengembangkan warisan kita, baik berwujud dan tidak berwujud. Semua bergerak untuk mempromosikan penyebaran bahasa Ibu, yang tidak hanya untuk mendorong keanekaragaman linguistik dan pendidikan multibahasa tetapi juga untuk mengembangkan kesadaran yang lebih lengkap mengenai tradisi bahasa dan budaya di seluruh dunia dan menginspirasi solidaritas berdasarkan pemahaman, toleransi dan dialog.
Kegunaan bahasa yang sangat istimewa ini membuat UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai peringatan bahasa Ibu Internasional, agar bahsa Ibu tidak musnah karena melihat keprihatinan terhadap ancaman musnahnya beberapa bahasa ibu (mother tounge) di seluruh belahan bumi. UNESCO, Sebuah badan milik PBB yang bertugas di bidang pendidikan dan kebudayaan memiliki prediksi “kematian” terhadap beberapa bahasa ibu dalam seratus tahun ke depan terutama di belahan benua Afrika dan Asia. Bahasa Ibu yang menjadi bahasa mula-mula sebelum berkenalan dengan bahasa kedua (second language) tertatih-tatih menghadapi gempuran arus dunia atau globalisasi.
Terbukti hampir setiap tahun ada bahasa yang hilang karena dari 748 bahasa ibu keseluruhan, turun manjadi 726 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang lagi. Jumlah itu terdiri dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang), 2 bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya itu. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.
Tentunya sebagai mahasiswa sudah sepatutnya ikut berperan melestarikan bahasa Ibu yang sudah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penuh keragaman dan keunikan.
Hilangkan rasa malu
Masalah yang sering terjadi adalah rasa malu mengakui bahasanya sendiri, mahasiswa sekarang lebih merasa bangga jika mahir berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Karena akan menjadi bahan tertawaan dan cemohan teman-temannya dengan logat bahasa daerah yang terdengar aneh setiap daerah. Padahal kalau kita pelajari lebih mendalam bahasa daerah sangatlah menarik dan inilah yang menjadikan keunikan serta ciri khas tersendiri.
Berbahasa daerah juga bisa mencerminkan bagaimana karakter orang dan bagaimana kita berkomunikasi, contohnya bahasa jawa, ketika kita akan berkomunikasi dengan orang tua, itu akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan saat berbicara dengan teman. Itu menunjukkan bahwa ada tingkatan kesopan dalam bertingkah laku. Selain untuk melestarikan juga untuk membudayakan agar tidak sirna begitu saja apalagi sampai dicuri orang lain.
Kegiatan yang dilakukan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Universitas Negeri Semarang saat memperingati hari Bahasa ibu kemarin menunjukkan bahwa kita harus tetap melestarikan bahasa ibu sebagai warisan budaya untuk generasi penerus kita. Dan menunjukkan bahwa kita tidak perlu malu, bahkan seharusnya banggaa bisa menjadi bangsa Indonesia yang kaya akan bahasa dan kebudayaan. (Dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar