Oleh: Tien Afecto Galuh
Dari balik punggung temanku kuperhatikan pria berkumis tipis yang belum bisa aku hafal namanya karena baru pertama bertemu dan belum berkenalan.
Aku datang telat tidak seperti biasanya, ban motorku bocor tadi depan kampus untungan ada satpam baik hati yang mau menolongku, mengurusi motor dan mengantarku ke kampus.
“Makasih ya Mas...,” kataku sembari senyum menatap wajahnya dan meninggalkannya terburu-buru karena telat.
Tanpa rasa malu aku masuk padahal sudah telat setengah jam, tapi berhubung ini pertemuan pertama masih ditoleransi sama bapak dosen yang belum aku kenal. Pasti ini serasa sulit dipercaya tapi benar terjadi adanya. Di jadwal mata kuliah sudah ada nama bapak dosen tapi berhubung long term memory otakku sangat jelek, inilah yang terjadi untung saja nama bapak dan ibuku masih bisa kuingat.
Tak berpikir lama langsung kupilih tempat duduk. Kursi depan sudah terisi semua terpaksa aku duduk di baris kedua dari belakang. Sungguh menderita duduk di belakang tak bisa memperhatikan dengan baik apa yang dosen sampaikan. Al-hasil aku hanya bisa memandang wajah dosen yang kayaknya tidak asing buatku.
“Eh Rin, bapak itu siapa namanya?,” bisikku pelan ke teman yang duduk di sampingku.
“Pak Heru,.” jawabnya singkat dan cuek karena lagi memperhatikan materi yang dosen sampaikan. “Ya sudahlah,..dasar Miss Sok rajin, mending kupandang wajah bapaknya lagi”, grudel dalam hati.
Tidak berkedip aku terus memandang dan mencoba mengingat tentang sosok yang ada di depan kelas sedang membicarakan masalah entreupreneurship, sedikit yang bisa kudengar dari pembicaraannya yang sangat menarik. Seisi kelas pun sepi hanya suara merdu pria yang pakai baju hijau saat itu.
Tapi, setelah ku tengok kanan kiri dan depan ternyata semuanya ngantuk. Hanya aku mungkin yang tetap setia memperhatikan walaupun apa yang ia bicarakan aku pun tidak paham.
Semakin lama senyumnya semakin memikat hatiku, apa yang kurasakan sebenarnya. Aku berusaha menyadarkan kalau dia dosenku dan aku tidak boleh seperti ini. Akhirnya untuk menghilangkan perhatianku padanya, aku coba godai temen yang ngantuk di sebelahku yang kebetulan dia itu latah, namanya Arta.
“Ta-ta, itu bapaknya ganteng banget” berbisik di telinga kirinya. Ia tanpa sadar mengucap “Bapak ganteng-bapak ganteng.”
Seisi kelas kaget dan menertawakan perkataan Arta barusan, yang ngantuk jadi bangun, yang lemes jadi semangat lagi untuk terawa maksunya.
Aku melakukan kesalahan besar, berusaha biar bisa melupakan senyuman bapaknya malah senyum itu keluar dari bibirnya. “ohhh...tidak manis banget senyumnya,” dalam hati sambil menaruh tanganku di pipi.
“Closing yang menghibur, dan pertemuan yang menyenangkan hari ini. Jangan lupa tugas buat minggu depan dikerjakan. Wassalamualaikum,” kata penutup perkuliahan hari ini.
Dosen yang paling punya karisma bagiku adalah pak Heru Widodo. Sampai tak bisa aku lupakan senyumnya hingga perkuliahan selesai.
***
Jam kedua kosong waktunya pulang ke kos dulu, gara-gara senyuman pak Heru aku sampai lupa kalau motorku di bengkel. Sambil berpikir bagaimana mau ambil motorku, aku duduk-duduk di depan kelas. Tiba-tiba dari belakang “Doorrrrr,” gurau Hasmi temanku, “tadi senyum-senyum sendiri kaya orang gila aja, kenapa Kamu?.”
“Aku tadi mikir, kok ada satpam baik hati yang mau nganterin Aku kuliah,” jawabku walaupun bohong, karena aku tidak mungkin langsung ngomong kalau aku jatuh hati pada pak dosen yang sudah punya istri, aku malu.
Ejekan dari temenku langsung saja muncul, “Wah-wah sekarang nggak sama si itu lagi tapi sama aparat negara, enak dong!,” sambil tertawa tapi sebenarnya tak serius cuma biar rame saja.
“Kok aparat negara sih?”, bingung karena aku rada lola(loading lama)
“Ya dong, kan pakai seragam, haha”, semakin tidak benar
“Masak sih, terus bapak-bapak di pinggir jalan yang nyapu-nyapu itu juga aparat negara dong, kan pakai seragam”, balas tanya pada Hasmi
“Iya, tapi tak diakui kebaradaanya. Kan masih mending mengakuai para tikus berdasi”, tegas Hasmi dan pembicaraan jadi mulai panas.
“Mang tikus bisa pakai dasi ya?”, tanyaku denga lugu seolah tak bersalah.
“Ngokkk,...gubrak, dasar LTT(Lola Tingkat Tinggi)”, jawabnya rada kesal
Percakapan seru yang sedikit menghilangkan banyangan senyum bapak dosen untuk beberapa menit, tapi kemudian teringat lagi. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin jatuh cinta sama dosenku sendiri. Aku takut ini akan terus berlanjut, tapi tak apalah akan kusimpan perasaan ini sampai aku menemukan duplikasi dari pak dosen.
Komentar
Posting Komentar